Busuk Pangkal Batang (Genoderma boninense)
Biologi
Penyakit ini memiliki banyak nama di
seluruh dunia, tetapi selalu menjadi penyakit yang mematikan pada kelapa sawit.
Busuk pangkal batang kelapa sawit disebabkan oleh jamur Ganoderma. Jamur
Ganoderma lebih dikenal sebagai obat herbal di China, Korea dan Jepang.
Ganoderma tergolong dalam kelas Basidiomycetes, penyebab utama penyakit akar
putih pada tanaman berkayu dengan menguraikan lignin yang mengandung selulosa
dan polisakarida. Ganoderma dapat tumbuh dengan baik pada media buatan dengan
memproduksi organ somatif. Pengisolasiannya dapat dilakukan dengan menanam
jaringan sakit atau bagian dari jaringan korteks basidiokarp. Ganoderma yang
ditumbuhkan pada media PDA (Potato Dextrose Agar) dapat tumbuh lebih baik
daripada yang ditumbuhkan di media MA (Malt Agar), MEA (Malt Extract Agar), CMA
(Corn Meal Agar), dan CDA (Czapek’s Dox Agar). Media LBA (Lima Bean Agar) lebih
baik dibandingkan RDA (Rice Dextrose Agar), sama dengan PDA.
Basidiospora akan berkecambah 30 jam
setelah dipindahkan dari permukaan tubuh buah dengan tingkat germinasi sekitar
31.5 – 64%. Ganiderma boninense dapat tumbuh lebih baik jika pada media
ditambahkan sumber karbon seperti dekstrosa, fruktosa, galaktosa, sakarosa,
maltose, laktosa dan selulosa. Pertumbuhannya juga dipengaruhi dengan sumber
nitrogen yang digunakan. Setiap isolat memberikan respon yang berbeda terhadap
perbedaan sumber nitrogen diantaranya NaNO2, NaNO3, NH4NO3, (NH4)2HPO4,
asparagin, glisin, dan pepton. Suplemen biotin dapat meningkatkan perkecambahan
basidiospora. Miselia G. boninense dapat tumbuh dan membentuk basidiokarp pada
media serbuk batang kelapa sawit, serbuk batang kelapa sawit + biotin, potongan
akar kelapa sawit, dan potongan akar kelapa sawit + biotin. Bakal basidiokarp
mulai terbentuk 30 hari setelah inokulasi, dan tumbuh sempurna setelah 90 hari.
Di Indonesia, Ganoderma boninense dapat
tumbuh pada pH 3-8.5 dengan temperature optimal 30oC dan terganggu
pertumbuhannya pada suhu 15oC dan 35oC, dan tidak dapat tumbuh pada suhu 40oC
(Abadi dan Dharmaputra, 1988; Dharmaputra et al., 1993). Penyebab busuk pangkal
batang pada kelapa sawit berbeda di tiap negara. Di Afrika Selatan, busuk
pangkal batang disebabkan oleh G. lucidum Karst. sedangkan di Nigeria
disebabkan oleh G. zonatum, G. encidum, G. colossus, dan G. applanatum. Di
Malaysia, 4 spesies teridentifikasi sebagai penyebab busuk pangkal batang yaitu
G. boninense, G. miniatocinctum, G. zonatum dan G. tornatum. Jamur yang paling
sering ditemukan umumnya ialah G. boninense, sementara G. tornatum hanya
ditemukan tumbuh di pedalaman dan dataran tinggi dengan curah hujan tinggi. Di
Indonesia, G. boninense teridentifikasi sebagai spesies yang paling umum
menyerang (Abadi, 1987; Utomo, 2002).
Jamur Ganoderma tergolong ke dalam
kelas basidiomycetes. Famili ganodermataceae telah dikenal luas sebagai patogen
di banyak tanaman termasuk kelapa sawit. Jamur lignolitik umumnya termasuk
dalam jamur busuk putih yang digolongkan ke dalam basidiomycetes. Karena
itulah, jamur ini lebih aktif menghancurkan lignin dibandingkan golongan
lainnya. Komponen pembentuk dinding sel tanaman adalah lignin, selulosa, dan
hemiselulosa. Dengan demikian, untuk menyerang tanaman, jamur harus
menghancurkan ketiga komponen tersebut dengan enzim ligninase peroxidase,
selulose dan hemiselulose. Beberapa spesies Ganoderma memproduksi enzim
amylase, ekstraseluler, oksidase, invertase, koagulase, protease, renetase,
pektinase, dan selulose. Berdasarkan mekanisme infeksi, Ganoderma
diklasifikasikan kedalam jamur busuk putih. Jamur busuk putih ini
diklasifikasikan berdasarkan kecepatan dan produksi dari enzim lignolitik (Ward
et al., 2004).
G. lucidum memproduksi manganese
peroksidase (MnP), dan lakase; sama dengan enzim dari G. boninense yang
menyerang kelapa sawit tetapi masih memerlukan penelitian lebih lanjut (Corley
dan Tinker, 2003). Jamur busuk putih memproduksi sistem lignolitik yang tidak
spesifik terdiri dari peroksidase dan lakase (phenol oksidase: LAC), yang
melakukan proses oksidasi (Peterson, 2007). Tiga peroksidase telah diobservasi
yaitu: LIP, MnP dan versatile peroksidase (VP). Biodegradasi dari komponen
selulosa tidak berbeda nyata untuk dibandingkan dengan yang dibentuk oleh
b-1,4-glucosidic, ikatan sederhana dari glukosa. Miller et al. (2000)
mengemukakan bahwa Ganoderma merupakan ‘saprobic’ dan hanya menyerang tanaman
inang yang lemah, sehingga dikategorikan sebagai parasit atau patogen sekunder.
Penjelasan lain dari jamur ialah sebagai saprofit fakultatif. Ganoderma juga
hidup sebagai endofit dalam kelapa (Abdullah, 2000).
Gejala Penyakit
Gejala awal
penyakit sulit diidentifikasi dikarenakan perkembangannya yang lambat dan
dikarenakan gejala eksternal berbeda dengan gejala internal. Sangat mudah untuk
mengidentifikasi gejala di tanaman dewasa atau saat telah membentuk tubuh buah,
konsekuensinya, penyakit jadi lebih sulit dikendalikan. Gejala utama BSR adalah
terhambatnya pertumbuhan, warna daun menjadi hijau pucat dan busuk pada batang
tanaman (Gambar 2 dan 3). Pada tanaman belum menghasilkan, gejala awal ditandai
dengan penguningan tanaman atau daun terbawah diikuti dengan nekrosis yang
menyebar ke seluruh daun. Pada tanaman dewasa, semua pelepah menjadi pucat,
semua daun dan pelepah mengering, daun tombak tidak membuka (terjadinya
akumulasi daun tombak) dan suatu saat tanaman akan mati (Purba, 1993).
Gejala ditandai dengan mati dan
mengeringnya tanaman dapat terjadi bersamaan dengan adanya serangan rayap.
Dapat diasumsikan jika gejala pada daun terlihat, maka setengah batang kelapa
sawit telah hancur oleh Ganoderma. Pada tanaman belum menghasilkan, saat gejala
muncul, tanaman akan mati setelah 7 sampai 12 bulan, sementara tanaman dewasa
akan mati setelah 2 tahun. Saat gejala tajuk muncul, biasanya setengah dari
jaringan didalam pangkal batang sudah mati oleh Ganoderma. Sebagai tambahan,
gejala internal yang ditandai dengan busuk pangkal batang muncul. Dalam
jaringan yang busuk, luka terlihat dari area berwarna coklat muda diikuti
dengan area gelap seperti bayangan pita, yang umumnya disebut zona reaksi resin
(Semangun, 1990).
Secara mikroskopik, gejala internal
dari akar yang terserang Ganoderma sama dengan batang yang terinfeksi. Jaringan
korteks dari akar yang terinfeksi berubah menjadi coklat sampai putih. Pada
serangan lanjutan, jaringan korteks menjadi rapuh dan mudah hancur. Jaringan
stele akar terinfeksi menjadi hitam pada serangan berat (Rahayu, 1986). Hifa
umumnya berada pada jaringan korteks, endodermis, perisel, xilem dan floem.
Klamidospora sering dibentuk untuk bertahan hidup pada kondisi ekstrim. Tanda
lain dari penyakit ialah munculnya tubuh buah atau basidiokarp pada pangkal
batang kelapa sawit (Gambar 4).
Gejala penyakit Ganoderma di lahan
gambut memiliki perbedaan dengan di lahan mineral. Perbedaan ekologi antara
tanah gambut dengan tanah mineral, keistimewaan dan karakteristik lahan
menentukan perbedaan keistimewaan, karakteristik dan mekanisme persebaran
Ganoderma. Tingginya kemunculan penyakit Ganoderma pada lahan gambut
kemungkinan besar disebabkan oleh basidiospora sebagai agen penyebar, dan lahan
gambut umumnya cocok untuk perkembangan Ganoderma. Pola kemunculan gejala pada
perkebunan kelapa sawit di lahan gambut juga berbeda. Gejala serangan buruk
batang atas lebih sering terjadi, bahkan sampai lebih dari 63%. Fakta ini
terlihat dari sampel yang diambil dari Labuhan Batu, dengan perbandingan
BSR:USR sebesar 37%:63% (Susanto et al., 2008). Perbandingan busuk pangkal
batang dan busuk batang atas sangat berhubungan dengan jenis lahan gambut dan
tergenang atau tidaknya dalam satu tahun. Saat tanah gambut mulai mendekati
tanah mineral, busuk pangkal batang akan meningkat, sebaliknya busuk batang
atas akan menurun. Lahan tergenang akan menyebabkan Ganoderma mati dan
memperkuat mekanisme busuk batang atas. Pola penyebaran basidiospora melalui
udara membuat busuk batang atas sebagai gejala penyakit Ganoderma.
Arti Ekonomi
Penyakit busuk pangkal batang adalah
penyakit penting yang menyebabkan kerugian besar di perkebunan kelapa sawit
(Semangun, 1990; Treu, 1998), terutama di Indonesia dan Malaysia (Turner, 1981;
Darmono, 1998b). Di beberapa perkebunan di Indonesia, penyakit ini telah
menyebabkan kematian tanaman sampai lebih dari 80% dari seluruh populasi kelapa
sawit, dan menyebabkan penurunan produk kelapa sawit per unit area (Susanto,
2002; Susanto et al., 2002b). Dahulu G. boninense dipercaya hanya menyerang
tanaman tua, namun demikian, saat ini telah dipahami bahwa patogen ini juga
menyerang tanaman tanaman belum menghasilkan (< 1 tahun). Gejala penyakit
muncul lebih cepat dan lebih berat pada generasi ketiga dan keempat (Gambar 6).
Insiden penyakit di tanaman belum menghasilkan pada generasi pertama, kedua,
ketiga dan keempat berturut-turut adalah 0, 4, 7 dan 11%. Sedangkan insiden
penyakit di tanaman menghasilkan pada generasi pertama, kedua dan ketiga secara
berturut-turut adalah 17, 18 dan 75% (Susanto et al., 2002a). Tingginya insiden
penyakit menyebabkan banyak pekebun lebih cepat melakukan tanam ulang walaupun
tanaman masih berusia 17 tahun (tanaman sehat sebenarnya masih produktif hingga
berusia 25-30 tahun).
Kerugian yang disebabkan oleh Ganoderma
dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Kerugian secara langsung
berupa rendahnya produksi sampai kematian tanaman, sedangkan kerugian tidak
langsung berupa penurunan bobot batang terhadap tandan kelapa sawit. Tanaman
terserang Ganoderma akan menderita akibat menurunnya bobot batang sehingga
tanaman akhirnya tidak mampu memproduksi tandan. Untuk membantu menggambarkan
kerugian yang disebabkan penyakit ini, pada perkebunan seluas 200.000 hektar
yang memasuki generasi penanaman ke tiga dan ke empat, 1000 tanaman mati atau
sekitar 6 hektar tidak menghasilkan. Kerugian akan semakin besar tahun demi
tahun secara akumulasi. Sebagai contoh, saat tahun pertama terserang 6 hektar;
tahun kedua terserang 12 hektar; dan seterusnya. Karena itu, potensi kerugian
meningkat seiring semakin tuanya tanaman, dan semakin produktifnya tanaman.
Saat ini, pertumbuhan penyakit
Ganoderma di perkebunan kelapa sawit terutama dipicu oleh generasi perkebunan.
Semakin tinggi generasi perkebunan, semakin parah serangan penyakit hingga
menyerang tanaman belum menghasilkan. Pada perkebunan kelapa sawit di lahan
gambut, perkembangan infeksi Ganoderma cenderung meningkat (Tabel 1), yang
disebabkan oleh mekanisme pemencaran melalui basidiospora.
Spesies Ganoderma yang bersifat
patogenik pada kelapa sawit memiliki kisaran inang yang luas. Pada habitat
alaminya di hutan, jamur ini dapat menyerang tanaman berkayu. Selain menyerang
E. guineensis dan Albizia sp., G. boninense dapat menyerang anggota
palem-paleman seperti Cocos nucifera, Livistona subglobosa, Casuarina tolurosa,
dan Areca spp (Gambar 8). Di daerah pesisir, dua spesies palem-paleman, dikenal
dengan nibung (Oncosperma filamentosa) dan serdang (Livistona cochichinensis),
juga terserang penyakit. Telah dilaporkan juga bahwa G. boninense dapat
menyerang Acacia mangium. Berdasarkan pengamatan, jamur ini juga dapat tumbuh
pada tunggul tanaman karet dan kakao.
Penyakit busuk pangkal batang terutama
menyebar melalui kontak akar dari tanaman sehat dengan sumber inokulum yang
dapat berupa akar atau batang sakit. Selain batang kelapa sawit, akar yang
terinfeksi merupakan inokulum utama penyakit Ganoderma pada kelapa sawit
(Hasan, 2005). Mekanisme ini didukung oleh pola persebaran penyakit yang mengelompok.
Tanaman sakit biasanya dikelilingi oleh tanaman sakit dengan gejala lebih
ringan. Banyak sekali kelapa sawit yang mati akibat busuk pangkal batang ketika
sistem under planting digunakan. Di sisi lain, basidiospora juga telah
dinyatakan memainkan peranan penting dalam menyebarkan penyakit (Sanderson et
al., 2000; Pilotti et al., 2003; Sanderson, 2005). Basidiospora tidak selalu
membentuk miselium sekunder dan tubuh buah karena memerlukan tipe perkawinan
yang sama.
Percobaan kesesuaian vetetatif dan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR) dapat
menunjukkan bahwa Ganoderma pada area tertentu memiliki perbedaan tipe
perkawinan (Pilotti et al., 2003). Begitu juga dengan agen pembeda molekuler
(PCR). Jika disebabkan oleh kontak akar, Ganoderma yang tumbuh pada tanaman
yang berdekatan seharusnya memiliki tipe yang sama. Basidiospora dibebaskan dan
menyebar secara besar-besaran pada pukul 22.00-06.00, dan lebih sedikit pada
pukul 12.00-16.00. Pemencaran ini juga dibantu oleh kumbang Oryctes rhinoceros
yang larvanya umum ditemukan pada batang kelapa sawit yang busuk. S. nigrescens
memainkan peranan paling penting dalam membantu penyebarannya di Indonesia.
Perkebunan yang banyak tunggul tanaman
karet, kelapa sawit, kakao atau tanaman hutan lainnya rawan terhadap penyakit
ini. Tunggul dapat menjadi sumber inokulum Ganoderma yang potensial. Oleh
karena itu, sangat disarankan untuk memindahkan tunggul seluruhnya pada saat
melakukan tanam ulang. Lahan budidaya sebelum tanam ulang juga mempengaruhi penyakit
ini. Semakin tua tanaman, semakin besar kerusakan yang disebabkan oleh penyakit
ini. Kerugian yang meningkat berhubungan dengan peningkatan siklus penanaman di
perkebunan, yang menunjukkan bahwa substrat semakin melimpah atau populasi
inokulum semakin banyak. Lokasi perkebunan tidak terlalu penting karena
penyakit ini dapat ditemukan pada daerah pesisir dan pedalaman. Ganoderma
dapat menyerang tanaman di seluruh tipe tanah seperti podsolik,
hidromorfik, alluvial, dan gambut. Luka dapat disebabkan oleh beberapa faktor
biologi seperti gigitan tikus, tupai, babi hutan dan serangga. Faktor kedua
adalah luka mekanik yang disebabkan oleh parang, cangkul atau alat berat.
Tindakan Pengendalian
Teknik Budidaya dan
Mekanis
Untuk menurunkan serangan Ganoderma, pangkal
batang kelapa sawit perlu ditimbun dengan tanah. Hal ini untuk mencegah
infestasi basidiospora ke batang kelapa sawit. Penggalian tanah disekeliling
tanaman terinfeksi dapat megurangi terjadinya kontak akar antara tanaman sakit
dengan tanaman sehat. Penimbunan dapat memperpanjang usia produksi sampai lebih
dari 2 tahun (Ho dan Hashim, 1997). Pendekatan ini dapat menemui kegagalan
dikarenakan letak akar terinfeksi tidak diketahui. Pengurangan jumlah sumber
inokulum di perkebunan dilakukan dengan mengoleksi dan membakar tubuh buah
Ganoderma. Sebelum penanaman tanaman baru, batang kelapa sawit lama dihancurkan
secara mekanis ataupun secara kimiawi (Chung et al., 1991).
Pengendalian Kimiawi
Pengendalian kimiawi telah dilakukan di
perkebunan kelapa sawit dengan metode adsorpsi atau penyiraman tanah.
Berdasarkan hasil di laboratorium, hampi semua fungisida dapat menekan G.
boninense, tetapi tidak pada aplikasi lapangan. Fungisida golongan triazole
yang meliputi triadimenol, triadimefon dan tridemorph efektif dalam menekan
pertumbuhan miselia G. boninense pada konsentrasi 5, 10 dan 25 g/ml. Fungisida
hexaconazol dengan aplikasi bertekanan tinggi tidak dapat mengendalikan
pertumbuhan Ganoderma. Hasil pemeriksaan membuktikan bahwa fungisida hanya
efektif untuk menunda serangan Ganoderma, tetapi kemampuannya untuk mengatasi
permasalahan penyakit ini di perkebunan kelapa sawit masih harus diteliti.
Pengendalian Hayati
Turner (1981) menyatakan bahwa
Trichoderma sp., Pennicilium sp., dan Gliocladium sp. bersifat antagonis
terhadap Ganoderma dan memiliki potensi untuk dijadikan sebagai agen pengendali
hayati. Keefektifan Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. dalam menekan
pertumbuhan beberapa penyakit tanaman telah dilaporkan, terutama untuk patogen
tular tanah. Trichoderma spp. telah banyak digunakan sebagai agen pengendali
hayati untuk penyakit layu Fusarium oxysporum pada tomat, melon dan kapas.
Selain itu juga digunakan untuk mengendalikan Rhizoctonia solani, Phytium
ultimum, Sclerotium rolfsii, Verticillium dahlia, Altenaria, dan Armillaria
mellea. Gliocladium sp. sebagai agen pengendali hayati telah digunakan untuk
menekan pertumbuhan R. solani, Sclerotinia sclerotiorum, dan S. rolfsii
(Campbell, 1989; Papavizas, 1992).
Trichoderma spp. dan Gliocladium spp.
diuji secara in-vitro dan in-vivo pada batang kelapa sawit untuk menekan
pertumbuhan G. boninense. Kedua agen hayati memiliki potensi yang bagus dalam
pengendalian G. boninense (Abadi, 1987; Dharmaputra 1989; Hadiwiyoni et al.,
1997; Abdullah dan Ilias, 2004). Di Indonesia, kelapa sawit memiliki kadar
oksigen yang rendah pada akar yang menyebabkan penggunaan Trichoderma menjadi
kurang efektif (Widyastuti, 2006). Meskipun demikian, Soepena et al. (2000)
berhasil memformulasikan fungisida hayati menggunakan Trichoderma koningii
untuk mengendalikan BSR pada kelapa sawit. Akhir-akhir ini, Trichoderma telah
digunakan untuk mengendalikan Ganoderma di lapangan walaupun hasilnya belum
konsisten (Susanto et al., 2005).
Pengendalian Penyakit
Terpadu
Sistem lubang dalam lubang (sistem
menggali lubang di dalam lubang [panjang 3.0m x lebar 3.0m x dalam 0.8m] dengan
lubang tanam standard [0.6m x 0.6m x 0.6m] didalamnya (Gambar 10)) ditambah
aplikasi Trichoderma spp. sebagai agen pengendali hayati (400g per lubang) dan
aplikasi tandan kosong (400kg per lubang per tahun) dapat digunakan sebagai
tindakan pengendalian untuk mengurangi tingkat infeksi Ganoderma (Susanto,
2002). Hal ini dikarenakan sumber inokulum berupa akar sakit telah dipindahkan
karena pada dasarnya akar tanaman kelapa sawit hanya tumbuh sampai kedalaman
80cm, dan sisa dari penyakit BSR pada lubang tanam akan dihancurkan oleh agen
pengendali hayati Trichoderma spp. Sistem ini dapat mengurangi kemungkinan
terjadinya kontak akar. Bagaimanapun juga, sumber infeksi potensial masih dapat
ditemukan dari tanaman hidup yang berupa jaringan akar, bonggol dan batang
(Flood et al., 2000).
Penanaman ulang dengan sistem lubang
dalam lubang bertujuan untuk meningkatkan hasil kelapa sawit di tanah mineral
yang kurang nutrisi dan bercurah hujan rendah atau karena lahan tersebut telah
terexploitasi. Martoyo et al. (1996) melaporkan bahwa penggunaan sistem ini
mampu memberikan peningkatan produktivitas yang nyata.
Insiden penyakit BSR pada sistem lubang
dalam lubang lebih rendah (Tabel 3) dibandingkan sistem tanam dengan lubang
standard (0.73%, 2003; 0.73%, 2004; dan 1.37%, 2005) pada usia tanaman 10
tahun. Pada pengamatan tahun 2003, insiden penyakit BSR mencapai 0.29%.
Pengamatan di tahun 2004 dan 2005 juga menunjukkan nilai yang sama dengan
pengamatan di tahun 2003. Insiden penyakit mencapai 0.29% dan 0.86%
berturut-turut (Susanto et al., 2006). Di lokasi penanaman lain juga
menunjukkan hasil yang sama (Prasetyo et al., 2008).
Sumber : klinik sawit